Minggu, 19 Mei 2024

Akibat Mencaci Maki Ahli Zuriat Rosululloh

 -BAB ADAB-

Akibat Mencaci Maki Ahli Zuriat Rosululloh



Di dalam kitab “Makrifatu Muhammad” saya mendapati sebuah kisah menarik tentang kisah nyata yang dikisahkan oleh para ulama.

Terkisahlah pada zaman dahulu ada seorang ulama yang memiliki kharisma, berilmu luas, serta memiliki murid yang banyak. Namun, sayangnya dibalik jubah keulamaannya, dia tidak memiliki kebersihan hati, sehingga tidak mampu membedakan kemuliaan ahli bait Rosulillah.

Pada saat yang sama di kawasan tempat tinggal ulama itu terdapat seorang Habib zuriat Rosululloh yang senang berbuat maksiat, mabuk-mabukkan, serta berjudi. Si ulama yang sedemikian tidak menyenangi keturunan para Habaib itu semakin menjadi-jadi kebenciannya.

Dalam setiap kesempatan ceramah maupun bertemu dengan siapa pun si ulama besar itu selalu mencela dan memaki si habib yang senang mengerjakan maksiat itu. Sang Ulama mengajak dan menyerukan para murid-muridnya untuk membenci dan menjauhi Habib tersebut.

Sampai pada suatu malam, sang Ulama bermimpi bertemu dengan baginda Rosululloh al-Musthofa Datuk semua Habaib ( Para Habib) dan Syaroif ( Para Syarif ). 

Dalam mimpinya memang diyakini beliau adalah Rosululloh. Dikuatkan dengan suara, “Inilah Rosululloh yang mulia!”.

Namun sayang seribu kali sayang, mimpi mulia yang seharusnya menjadi anugerah terbesar dan idaman semua orang yang beriman justru menjadi sebuah mimpi buruk bagi sang ulama yang berbuah kekecewaan dan kesedihan. 

Apa pasalnya?

Dalam mimpi itu baginda Rosululloh Shollallohu alaihi wassalam tidak berkenan menampakkan wajah mulianya. Baginda berpaling punggung. Sang Ulama pun bermohon dalam mimpinya, “Wahai Rosulillah yang mulia, mohon kiranya saya diperkenankan untuk menatap wajah mulia engkau wahai Rosululloh! Berilah syafaat padaku” pintanya. 

Lantas apa jawaban Rosululloh dalam mimpi tersebut.

“Wahai fulan! Bagaimana mungkin aku memperlihatkan wajahku padamu, sedangkan engkau tak mengenali anak cucuku? Bagaimana mungkin aku menatapmu, sedangkan engkau memalingkan wajahmu dari menatap anak cucuku? Bagaimana mungkin aku memberimu syafa'at, sedangkan engkau memusuhi anak cucuku dan engkau mengajak orang lain untuk membenci dan menjauhi anak cucuku?!”

Demi mendengar jawaban itu, Sang Ulama menangis sejadi-jadinya, hingga ia terbangun dari tidurnya. 

Keesokan harinya, sang ulama tersebut bergegas mencari seorang Habib yang sering dicapnya sebagai ahli maksiat. Namun, habib yang dicari tidak didapati keberadaannya di tempat ia biasa berada. 

Sang Habib seperti menghilang di telan bumi.

Berselang beberapa minggu kemudian, tepatnya 40 hari, semenjak peristiwa mimpi itu, sang ulama mendengar kabar bahwa habib itu meninggal dunia di sebuah masjid dalam keadaan bersujud. Si habib terah bertaubat atas bimbingan kakeknya, Rosululloh al-Musthofa Shollallohu alaihi wasallam. Masya Alloh Tabarokalloh.

Tinggal si ulama itu dengan penuh penyesalan.

Akhir dari kisah itu, Alloh cabut keberkahan ilmu dari ulama itu. Murid-muidnya satu persatu berhenti dari majlis pengajiannya. Sang ulama terfitnah dan dipenjarakan. Dan akhir dari perjalanan hidupanya Sang Ulama PEMBENCI HABAIB meninggal dalam keadaan SU’UL KHOTIMAH ( AKHIR YANG BURUK ).

Qishoh ini bukan sebuah LEGITIMASI dan PEMBENARAN bahwa para Ahli Bait Rosulilloh boleh melakukan kemaksiatan serta melanggar hukum ketentuan Alloh. Bukan sama sekali!

Namun, kisah ini mengajarkan kepada kita tentang SEBUAH PENGAJARAN ADAB DAN AKHLAQ UNTUK MEMULIAKAN AHLUL BAIT NABI (DZURIYYAH ROSULULLOH S.A.W). 

Sebab 

KEBERKAHAN ILMU

KEBERKAHAN AMAL SHOLEH

KEBERKAHAN SYAFA'AT 

tidak akan diperoleh, melainkan dari KECINTAAN DAN KEREDHOAN BAGINDA ROSULULLOH S.A.W.

Salah satu jalan mencapai keridhoan tersebut adalah MENCINTAI dan MENGHORMATI AHLI BAIT DZURIYYAH ROSULILLAH MUHAMMAD SHOLALLOHU ALAIHI WA SALLAM. 

Syaikhuna Al-Alimul al-Allamah Syekh Zaini Abdul Ghani Martapura Kalimantan Selatan beliau mengatakan, “Seseorang masih terhalang memperoleh kecintaan Rosululloh, selama masih ada permasalahan dengan ahli bait Rosululloh.”

Para Habaib, para Syarif, para

Syarifah bukanlah manusia suci yang terbebas dari dosa dan kemaksiatan. Mereka sama seperti kita. Namun membedakan antara mereka dengan kita, di dalam aliran darah dan daging mereka mengalir darah daging (DZATIYYAH) manusia teragung dan termulia, Rosululloh al-Musthofa.

Biarlah soal dosa dan kesalahan yang mereka lakukan menjadi urusan mereka dengan Alloh dan kakeknya. Tugas kita mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk hidayah.

Oleh karena itulah, ADAB dan SIKAP terbaik kita ketika menemui mereka yang melakukan maksiat, janganlah kita ikut-ikutan memusuhi dan membenci mereka. Buru-buru memvonis mereka, menjauhi mereka.

Jangan sampai mencela dan memaki mereka. Apalagi memfitnah dan mempolitisasi mereka atas dasar dugaan yang belum pasti hingga menginginkan mereka celaka atau masuk penjara.

Hukum tetaplah hukum yang tetap dijunjung tinggi, baik hukum syariat maupun hukum konstitusi. Biarkan para pakar ahli hukum dan pihak pengadilan yang berwenang memutuskan bersalah atau tidaknya.

Sikap terbaik kita adalah mendoakan jika mereka memang benar bersalah agar Alloh segera mengampuni dan memberikan hidayah.

Dan jika mereka berada di jalan yang benar, semoga Alloh melindungi mereka atas KEJAHATAN & MAKAR DARI ORANG-ORANG YANG MEMBENCI MEREKA PARA HABAIB. Hal ini kita lakukan semata-mata ATAS DASAR KECINTAAN kita kepada Rosululloh shollallohu alaihi wassalam.

Sekali lagi, sikap ini bukan pengkultusan terhadap AHLU BAIT keturunannya, namun sebuah sikap adab cara menghormati dan memuliakan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam.

Bukankah Rosululloh tidak pernah meminta apapun dari perjuangan beliau, melainkan agar kita umatnya menyayangi dan memuliakan anak cucu keturunannya yang pada hakikatnya mencintai kakeknya baginda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dan jelas di dalam al-Qur’an secara eksplisit Alloh menyebutkan keutamaan para ahli bait Rosulillah serta menyucikan mereka.

Dan bagi zuriat Rosulillah, alangkah bagusnya menjadi figur yang mengajarkan kecintaan kepada Alloh dan Rosululloh. 

Jika mereka mengamalkan kebaikan, maka mereka akan memperoleh pahala dan keutamaan berganda lipat. Sebaliknya jika dengan posisi mereka sebagai ahli bait Rosululloh mengerjakan kemaksiatan tentu dosanya juga berkali lipat. 

Alloh Maha Adil.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan kecintaan Rosululloh serta menjadi bagian orang yang mencintai ahli keluarga zuriat beliau bukankah di setiap sholat ketika bersholawat kepada Rosululloh dan kepada ahli zuriat Aali Muhammad shollallohu alaihi wassalam. 

Semoga bermanfaat. 

Wallohu ‘alam

Sabtu, 20 Januari 2024

TAK ADA JABATAN YG KEKAL & TAK PERLU DIBELA MATI-MATIAN

 KISAH PANGLIMA PERANG YANG DIPECAT KARENA TAK PERNAH BERBUAT KESALAHAN

Pada zaman pemerintahan Khalifah Syaidina Umar bin Khatab, ada seorang panglima perang yang disegani lawan dan dicintai kawan. Panglima perang yang tak pernah kalah sepanjang karirnya memimpin tentara di medan perang. Baik pada saat beliau masih menjadi panglima Quraish, maupun setelah beliau masuk Islam dan menjadi panglima perang umat muslim. Beliau adalah Jenderal Khalid bin Walid.

Namanya harum dimana-mana. Semua orang memujinya dan mengelu-elukannya. Kemana beliau pergi selalu disambut dengan teriakan, "Hidup Khalid, hidup Jenderal, hidup Panglima Perang, hidup Pedang Allah yang Terhunus." Ya! .. beliau mendapat gelar langsung dari Rasulullah SAW yang menyebutnya sebagai Pedang Allah yang Terhunus.

Dalam suatu peperangan beliau pernah mengalahkan pasukan tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Padahal pasukan muslim yang dipimpinnya saat itu hanya berjumlah 46.000 orang. Dengan kejeliannya mengatur strategi, pertempuran itu bisa dimenangkannya dengan mudah. Pasukan musuh lari terbirit-birit.

Itulah Khalid bin Walid, beliau bahkan tak gentar sedikitpun menghadapi lawan yang jauh lebih banyak.

Ada satu kisah menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sangat sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Pada suatu ketika, di saat beliau sedang berada di garis depan, memimpin peperangan, tiba-tiba datang seorang utusan dari Amirul mukminin, Syaidina Umar bin Khatab, yang mengantarkan sebuah surat. Di dalam surat tersebut tertulis pesan singkat, "Dengan ini saya nyatakan Jenderal Khalid bin Walid di pecat sebagai panglima perang. Segera menghadap!"

Menerima khabar tersebut tentu saja sang jenderal sangat gusar hingga tak bisa tidur. Beliau terus-menerus memikirkan alasan pemecatannya. Kesalahan apa yang telah saya lakukan? Kira-kira begitulah yang berkecamuk di dalam pikiran beliau kala itu.

Sebagai prajurit yang baik, taat pada atasan, beliaupun segera bersiap menghadap Khalifah Umar Bin Khatab. Sebelum berangkat beliau menyerahkan komando perang kepada penggantinya.

Sesampai di depan Umar beliau memberikan salam, "Assalamualaikum ya Amirul mukminin! Langsung saja! Saya menerima surat pemecatan. Apa betul saya di pecat?"

"Walaikumsalam warahmatullah! Betul Khalid!" Jawab Khalifah.

"Kalau masalah dipecat itu hak Anda sebagai pemimpin. Tapi, kalau boleh tahu, kesalahan saya apa?"

"Kamu tidak punya kesalahan."

"Kalau tidak punya kesalahan kenapa saya dipecat? Apa saya tak mampu menjadi panglima?"

"Pada zaman ini kamu adalah panglima terbaik."

"Lalu kenapa saya dipecat?" tanya Jenderal Khalid yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

Dengan tenang Khalifah Umar bin Khatab menjawab, "Khalid, engkau jenderal terbaik, panglima perang terhebat. Ratusan peperangan telah kau pimpin, dan tak pernah satu kalipun kalah. Setiap hari Masyarakat dan prajurit selalu menyanjungmu. Tak pernah saya mendengar orang menjelek-jelekkan. Tapi, ingat Khalid, kau juga adalah manusia biasa. Terlalu banyak orang yang memuji bukan tidak mungkin akan timbul rasa sombong dalam hatimu. Sedangkan Allah sangat membenci orang yang memiliki rasa sombong''.

''Seberat debu rasa sombong di dalam hati maka neraka jahanamlah tempatmu. Karena itu, maafkan aku wahai saudaraku, untuk menjagamu terpaksa saat ini kau saya pecat. Supaya engkau tahu, jangankan di hadapan Allah, di depan Umar saja kau tak bisa berbuat apa-apa!"

Mendengar jawaban itu, Jenderal Khalid tertegun, bergetar, dan goyah. Dan dengan segenap kekuatan yang ada beliau langsung mendekap Khalifah Umar.

Sambil menangis beliau berbisik, "Terima kasih ya Khalifah. Engkau saudaraku!"

Bayangkan …. mengucapkan terima kasih setelah dipecat, padahal beliau tak berbuat kesalahan apapun. Adakah pejabat penting saat ini yang mampu berlaku mulia seperti itu? Yang banyak terjadi justru melakukan perlawanan, mempertahankan jabatan mati-matian, mencari dukungan, mencari teman, mencari pembenaran, atau mencari kesalahan orang lain supaya kesalahannya tertutupi.

Jangankan dipecat dari jabatan yang sangat bergengsi, 'kegagalan' atau keterhambatan dalam perjalanan karir pun seringkali tidak bisa diterima dengan lapang dada. Akhirnya semua disalahkan, sistem disalahkan, orang lain disalahkan, semua digugat.....bahkan hingga yang paling ekstrim.... Tuhan pun digugat..

Kembali ke Khalid bin Walid, hebatnya lagi, setelah dipecat beliau balik lagi ke medan perang. Tapi, tidak lagi sebagai panglima perang. Beliau bertempur sebagai prajurit biasa, sebagai bawahan, dipimpin oleh mantan bawahannya kemarin.

Beberapa orang prajurit terheran-heran melihat mantan panglima yang gagah berani tersebut masih mau ikut ambil bagian dalam peperangan. Padahal sudah dipecat. Lalu, ada diantara mereka yang bertanya, "Ya Jenderal, mengapa Anda masih mau berperang? Padahal Anda sudah dipecat."

Dengan tenang Khalid bin Walid menjawab, "Saya berperang bukan karena jabatan, popularitas, bukan juga karena Khalifah Umar. Saya berperang semata-mata karena mencari keridhaan Allah."

************************************************

Sebuah cuplikan kisah yang sangat indah dari seorang Jenderal, panglima perang, ''Pedang Allah yg Terhunus''.



TAK ADA JABATAN YG KEKAL & TAK PERLU DIBELA MATI-MATIAN

Jendral Kholid bin Walid, sosok panglima perang terbaik zaman Rasulillah hingga Khulafaurrosyidin. Ratusan perang yg Beliau pimpin tak pernah sekalipun kalah.  

Di tengah medan laga, Beliau menerima surat pemecatan dari Amirul Mukminin Umar Bin Khottob. Bukan karena kesalahan, namun karena Amirul Mukminin khawatir jika prestasi spektakuler militer Beliau justru akan menjadi lahan subur bagi benih-benih kesombongan. Setelah dipecat, Sang Eks-Panglima ini justru berterimakasih dan memeluk Amirul Mukminin, lalu kembali ke medan perang sebagai prajurit.